Sabtu, 22 Desember 2007

journey with the moon

CERPEN
Detti Febrina
Lampung Post Minggu 16 Desember 2007

Perjalanan Bersama Rembulan


Hening.
Sabit bentuk rembulan itu, kubayangkan tengah tersenyum sambil mengedipkan mata hingga akupun tertular senyumnya. Tertera di pelupuk mata, tak berapa lama kelak akan kucium dahi dan pipi montok Buana. Bidadari kecil itu pasti sedang tersenyum manis dalam pulas.

Entah mengapa keheningan malam kali ini tak membuat detak jantungku lebih laju. Roda duaku juga menderu halus dan tak terburu. Padahal jarum pendek pada jam tangan tali lebar ini sudahpun lingsir dari angka dua belas.
Kunikmati saja lamun gempuran dingin yang mencekat. Jaket pemberian panitia sebuah seminar kesehatan ini justru sempurna menghantarkan dingin ke sekujur pori. Dan malam begini, jalan sepi pinggir kota menuju kediaman yang atap asbesnya setia bocor di kala hujan, kanan kiri hanya sunyi dan sunyi. Tiada tampak kumpulan ronda, apalagi security.
Namun kali ini jantungku tak lagi berdebar-debur seperti masa-masa magang dan masih menjadi kacung, dahulu (memangnya apa kau sekarang? Kacung senior mungkin). Ketika jalanan sunyi bak menyembunyikan pengintai di sana-sini.
Kali ini kunikmati saja. Cukuplah angka 40 di speedometer. Cukuplah mendendangkan ma’tsurat seraya mencari ruas-ruas jalan terang berpenghuni. Bukankah ditemani sabit rembulan, sejenak ku kan sampai jua.
Ayo roda duaku yang baik, hantarkan aku ke rumah beratap bocor itu.

***

Oh, suamiku sayang, adakah kau sekali lagi terkantuk-kantuk menunggu di serambi depan? Ataukah tengah terbahak menyaksikan Beckham yang nyaris menyundul bola ke gawang sendiri?
Rembulan mengintip dari dahan pepohonan saat senyumku mengembara pada wawancara siang tadi.
“Bukankah Rasulullah dalam hadistnya juga menyuruh kita mengatakan yang benar, walaupun pahit? Benar tidak, Ning?”
Aku ingin mengangguk sekuat-kuatnya. Tapi leherku kelu, mendengar gemuruh ‘Aaaaaaamiiiin …’ dari masjid yang – meminjam tutur Bastian Tito – hanya berjarak beberapa tombak dari kantor partai politik ini.
Sungguh, dalam hati kuingin berujar, ‘Masukkanlah dulu pecimu ke dalam laci, abang narasumberku yang terhormat. Bagaimana kau berani mengutip sabda Nabi, tapi langkah berat ke jamaah sholat Jumat?’
Entah riak di mataku atau mungkin kerudung merah jambuku yang keburu membuatnya tersipu. “… Walaupun saya ketinggalan juga ini Jumatan.” Ah, setidaknya dia punya rasa malu itu.
Berjam-jam kuhabiskan bersamanya, namun tak banyak yang bisa kutulis. Betapa sakti kata-kata itu meluncur dari bibir kelabunya, ”... tapi ini off the record.” Maka di benak ini, dan di alat perekam ini, bertambahlah perbendaharaan informasi. Tapi apa boleh buat, bagi publik pembaca nanti tak banyak yang bisa kubagi.
Demikianpun, abang tambun bertutur santun ini sungguh berbeda dengan sang penguasa gedung besar berpohon besar di halaman, yang konon dengan sadar mengoleksi barisan pencinta maupun pembenci.
Lelaki paruh baya beristri jelita itu akan dengan ringannya menyebut si A sebagai pengkhianat, si M sebagai orang tolol, atau menjuluki Tuan S sebagai pemimpin tak tahu diri. Kadang-kadang tak lupa menyertakan penghuni taman satwa serta jenis-jenis kotoran binatang.
”Abang yakin ini semua boleh saya kutip?” tanyaku untuk kedua kali dalam wawancara lewat telepon genggam keluaran 90-an yang tak berpengeras suara.
”Kutip saja semua. Memang faktanya begitu kok. Nggak ada yang perlu ditutup-tutupi,” jawabnya enteng.
Ya, si naif ini lalu mengutip semuanya. Dan gara-gara itulah, si naif hampir kena batunya. Walau para penghuni taman satwa serta jenis-jenis kotoran binatang sudah aku tip-ex, pada jurnalis yang lain pria penyuka helikopter itu menudingku telah memelintir semua isi wawancaranya.
Olala. Begitu rupanya permainannya. Ya, aku tak punya bukti semua ucapannya selain apa yang tertulis di blocknote persegi.
”Dia itu kontroversial, Ning. Jadi, kalau lain kali kau wawancara dia, rekam!” tukas seorang sahabat sesama jurnalis di aliansi.

***

Masih bersama rembulan, senyumku mengembang. Dan menguncup sejurus saat hamburan serangga malam nekat menerobos geligi nan berantakan ini. Roda dua warna biru melaju di belokan dekat gardu.
Dan kini kembara ingatan melesat ke meja redaksi di sepenggal sore tadi.
Pada rekanku sesama tukang sunting naskah yang berkesah, ”Heran, buntu otak ini mau ngetik apa lagi.” Asap kopi panas mengepul, walau tangannya sesekali memegangi perut yang kian dililit maag akut.
Pada keluh sang pewarta muda yang merasa berita-berita kriminalnya selalu dibajak suratkabar mingguan terbitan putra penguasa.
Pada pemimpin rapat proyeksi yang bersemangat menunjuk ke sana dan juga ke mari. Sama bersemangatnya ketika mencari proyek iklan, atau meloloskan semua tulisan yang lalu-lalang di komputernya tanpa editan berarti.
Pada makhluk manis bagian keuangan yang kecut menyerahkan amplop gaji serta lembar demi lembar klaim liputan yang sering kutunda hingga berbilang minggu.
Pada fotografer baru yang merasa mungkin dia melamar ke kantor yang salah.
Pada gadis sekretaris yang termonyong-monyong saat baku omong dengan duet gondrong dan pangkas TNI, dua reporter senior yang tak jua naik pangkat di kantor ini. (Gadis, kau anak lugu dan menyimpan hati yang baik di balik sikap kenesmu).
Pada seorang pewarta belia pemilik telinga dan lidah tajam yang tahu sejuta gosip di balik baju safari semua pemangku birokrasi sepelosok negeri.
Pada kacamata si penata letak yang di ujung tenggat masih sempat membunuhi NAZI Jerman dalam game online.
Lalu pada Husin, office boy berdialek Way Kanan, yang selalu menyebut namaku dengan takzim, ”Mbak Hening.”
Pada tiap jengkal waktu yang kuhabiskan selama sepekan, sebulan, setahun, bahkan dua hingga tiga kali Idul Fitri, tanpa realisasi janji asuransi, kenaikan gaji, ataupun SK pengangkatan karyawan pasti. Tapi kuputuskan masih disini, dengan sepotong keluh yang hanya tersimpan di hati.

***

Kali ini ingatanku menclok pada seorang bapak beranak empat yang kala itu baru dilantik mengepalai sebuah dinas yang cukup basah. “Sudahlah Ning, you tak cocok jadi wartawan. Mending berhenti kerja, jadi istri I saja, bagaimana?”
Duh bapak gagah, kurang apa istri pintarmu yang berdarah biru itu? Sejak itu si kepala dinas tak pernah kuwawancara lagi.
Senyumku tiba-tiba kembali terkulum, perlahan membentuk seringai miring.
Setelah sekian lama masuk ke lumpur para penghantar berita, kusyukuri tangan dan hati ini tak tersentuh segala yang nista, sekalipun kadang setan jalang menuntut memaksa. Setelah sekian lama, rasa-rasanya mata hati ini kian mampu menembus pakaian dan aksesori. Membedakan siapa yang sebenar-benarnya pejuang, dan siapa pula yang di kepalanya melulu uang.
Maka semua manusia dan kejadian yang melintas bersama rembulan, dalam perjalanan sunyi utuh terangkai dalam satu bingkai.
Duhai suami dan anakku, terimakasih telah bersedia mempunyai aku yang memilih masuk dalam bingkai itu. Si keras kepala dengan tangan kecil yang ingin merubah dunia. Bunda kepala tiga yang berharap kalian ikut merasakan denyut peristiwa dan ...
Ahh, apakah yang tiba-tiba terasa panas di pinggang kananku ini?!
Lalu, entah darimana datangnya umpatan itu, ”Dasar perempuan bodoh!”

***

Elang (duda seorang anak perempuan bermata bintang).
Rembulan itu bundar sempurna. Hatiku tercabik mengingat Hening selalu menyukai rembulan.
Tujuh bulan setelah kematiannya, pesan singkat Hening yang terakhir kubiarkan jadi penghantar malam-malamku.
”Ayah, bunda pulang sekarang. Kalau tidak sampai dalam sejam, tolong susuri jalur angkot hingga alhuda, terus ke pulau damar, perempatan tari dan jalur dua kita. Jaga-jaga saja, yah. Siapa tahu ada yang penasaran mau culik istrimu yang manis ini. :) Jangan kuatir. Doakan saya baik dalam lindungan Allah. I luv u.”
Masih segar darahnya di tanganku malam itu, si bunda keras kepala yang bersikukuh tak mau kujemput pulang. Nafas terakhirnya berhembus menggamit janin tiga bulan kami di rahimnya.
Sekalipun dua pemuda pelaku penembakan dan perampasan motornya sudahpun dibui, sejumput tanya masih tersendat di kerongkongan. Adakah kematian Hening bergema di ruang-ruang para pembuat kebijakan serta pemilik perusahaan media?
Kutatap mata telaga gadis piatuku, Buana. Tak ada jawabnya di situ.

Sukarame, 28 Nopember 2007 dini hari.

Persembahan untuk seluruh jurnalis perempuan, dan sahabat-sahabat di kantor bersahaja di pojok m yamin



Comment:

Sudarmono 628127966xxx
11-dec-2007 10:31:42
Hening, begitu bening bak rembulan 15 di malam dengan langit cerah. Pesan cinta yang membiru, meski kau tanggung lebam di kelopak netra dan rasa hati. Syukurku, aku laki-laki. Selamat!

Adian Saputra 6281369591xxx
15-dec-2007 22:33:14
Perjalanan bersama rembulan. Cerpen yang bagus.

Tri Yulianto 6281572249xxx
16-dec-2007 13:03:10
Ha..ha..Slamat nih bwt cerpennya. Aku senang kehidupan pahit kita jadi luapan inspirasi. Aku rasa masih banyak yang bisa ditulis dari kepahitan kita selama ini. Terus semua itu tulis di kompas, biar temanku di semarang tau kalo aku masuk ke dunia kutukan. Besok-besok aku diajarin nulis ya. Miss u Hening..

Tri Yulianto 6281572249xxx
16-dec-2007 17:59:37
Aku tunggu cerpen lainnya ya. Gaya mbak dety bagus, posmo feminisme. Bravo deh..

Hesma 628197998xxx
17-dec-2007 18:12:47
Aha...usai baca cerpenmu kemarin aku mau kirim apresiasi padamu. Asyik. Thanks banget. Ngomong-ngomong siapakah narasumber yang tambun itu. Aku cuma duga-duga.

Eni 6281379450xxx
17-dec-2007 22:11:39
Bita lagi proses mo punya adik ya? Selamat ya. Cerpennya bagus.

Habib 628117202xxx
18-dec-2007 10:12:51
Mba, aku udah baca cerpenmu. Bagus. Makasih sindirannya. He he

Hendri 6281541230xxx
19-dec-2007 08:51:01
Selamat. Cerpennya bagus, gak perlu minta maaf karena itu karya fiksi (minta maaf sama siapa?, det). Kita bebas memungut inspirasi dari mana pun. Termasuk di SP. Dinanti karya-karya berikutnya.




Selasa, 18 Desember 2007

kari

Lampung Post, Rabu, 25 Juli 2007

PENDIDIKAN

Laras Bahasa:Kari Musabakah

Detti Febrina

BISA jadi memang kita sudah terlalu lama dibudayakan menjadi bangsa yang tidak taat bahasa, sehingga ketika yang digunakan bahasa baku " yang baik dan benar" akhirnya justru terasa kaku dan tidak enak dibaca. Namum, bisa jadi hal itu karena bahasa baku yang dipilih juga sebenarnya masih mengundang celah untuk diperdebatkan.

Mari kita simak salah satu judul berita di Lampung Post, Senin, 16 April 2007 sebagai berikut: "MTQ Provinsi: Bangunan Fisik Pendukung Musabakah Hampir Rampung".

Terus terang kata 'musabakah' itu sempat begitu mengusik, apalagi sebelumnya beberapa kali Lampung Post menggunakan istilah kari dan kariah bagi para pembaca Alquran. Musabaqah tilawatil quran, disingkat MTQ, merupakan lomba membaca Alquran dengan benar dan indah, baik tajwid maupun lagunya. Sedangkan qari merupakan pembaca Alquran (laki-laki) atau orang (laki-laki) yang mahir dalam seni baca Alquran. Pembaca Alquran perempuan disebut qariah. Semua definisi tersebut bisa dibaca di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Pertanyaannya, mengapa pilihan kata dalam berita-berita tersebut musabakah, kari, dan kariah? Bila alasannya didasarkan atas baku dan tidak bakunya, mengapa harus menggunakan huruf 'k'? Sedangkan pada saat yang sama 'musabaqah', 'qari', dan 'qariah' juga tercantum sebagai kata baku dalam KBBI?

Dalam KBBI edisi ketiga (Balai Pustaka, 2005), kata musabakah, kari dan kariah bukan merupakan lema (kata yang dientri dalam kamus) yang dipilih untuk mempunyai definisi. Bila Anda mencari ketiga kata ' dengan huruf k tersebut ,' maka KBBI menyertakan tanda rujukan silang (à) agar Anda melihat definisi musabakah, kari dan kariah, pada musabaqah, qari, dan qariah.

Menurut Hasan Alwi, mantan Kepala Pusat Bahasa sekaligus pemimpin redaksi KBBI, dalam pengantarnya tertanggal 3 Oktober 2000, lema yang tidak diberi definisi (diberi rujukan silang à) merupakan lema yang tidak dianjurkan penggunaannya. Itu alasan pertama yang mungkin masih bisa dibantah. "Di KBBI edisi lain, 'musabakah' diberi definisi".

Jika demikian, mari kita diskusikan alasan kedua. Bahasa Indonesia EYD memang tidak harus ditabrakkan dengan tertib makhrojul huruf (tempat keluarnya huruf atau pelafalan) dalam Bahasa Arab. Namun, transliterasi Arab ke Latin yang merupakan Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri P dan K Nomor 58/1987 telah membakukan pelambangan huruf hijaiyyah ke-21, yakni huruf qaf dengan huruf latin q. Sedangkan huruf k merupakan transliterasi dari huruf berikutnya, yakni kaf.

Jika saja musabakah, kari, dan kariah (dengan huruf kaf) merupakan kata-kata Arab tanpa makna, mungkin perdebatan bisa disudahi. Namun, justru di situlah letak kecanggungannya. Ejaan kaf dan qaf bisa menimbulkan makna berbeda, bahkan, bisa sangat bertolak belakang.

Contoh, bila kita bermaksud merujuk pada 'hati nurani', maka ejaan Arab yang tepat adalah 'qalbu'. Sedangkan lafal 'kalbu', sekali lagi bila konteks pelafalannya, adalah ejaan Arab bermakna anjing. Makna keduanya sangat bertolakbelakang, bukan?

Memang, sejumlah kata serapan bahasa Arab menggunakan huruf qaf kemudian diindonesiakan menjadi k seperti kata 'kamus' yang berasal dari Bahasa Arab 'qamus'. Atau pengindonesiaan beberapa kata lain seperti 'ijab kabul', 'kaidah', 'kalam', alih-alih menggunakan 'ijab qabul', 'qaidah', 'qalam', dan seterusnya.

Sejumlah kata di atas telah berakulturasi dengan manis dengan lidah Indonesia kita yang memang sering malas melafalkan huruf-huruf tertentu (seperti fa dengan ‘pa’, za dengan ‘ja’, juga qa dengan ka). Tetapi, musabaqah, dalam konteks MTQ, adalah kata yang tidak berdiri sendiri. Ia diembel-embeli tilawatil quran.

Jadi, mari kita ambil jalan tengahnya saja: biarkan saja dia apa adanya. Qari dan qariah musabaqah tilawatil quran.

*) jurnalis, tinggal di Bandar Lampung

laila's answer

hai hai. ini adalah jawaban siti nurlaila atas opiniku sebelumnya

Lampung Post, Kamis, 18 Mei 2006

OPINI


Pornografi, 'No'! RUU APP, 'No'!
(Jawaban Opini Detti Febrina)

S.N. Laila
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan damar

Terima kasih telah berkirim surat kepadaku dengan penuh cinta dan persaudaraan terhadap sesama perempuan. Bagaimana kabar keluarga? Semoga sehat semua dan selalu dalam lindungan Allah swt. Amin.

Ya, alhamdulillah, aku dan kawan-kawan masih memiliki energi yang cukup untuk kampanye penolakan terhadap RUU APP, di tengah-tengah juga harus memberikan dukungan kepada kawan-kawan buruh pada 1 Mei, dan kepada kawan-kawan mahasiswa pada 2 Mei. Bahkan, organisasi yang memberikan dukungan dan tergabung Aliansi Penyelamat Bangsa juga bertambah.

Pada 5 Mei, di B'Coffee, kami berdiskusi dengan akademisi, berbagai perwakilan agama, pers, NGO, dan politisi. Diskusi itu untuk mencoba mengkaji RUU APP secara objektif dan rasional. PKS juga diundang lo.

Diskusi tersebut dihadiri baik oleh yang pro maupun yang kontra. Hasil diskusi ini akan kami kirimkan kepada Pansus RUU APP di DPR.

Kemudian, Sabtu, 6 Mei 2006, Aliansi Penyelamat Bangsa mengampanyekan penolakan RUU APP dengan mengadakan karnaval budaya, keliling Kota Bandar Lampung. Dalam kegiatan itu, kami menggunakan berbagai baju adat dan menggelar tontonan rakyat yang berasal dari kebudayaan bangsa Indonesia juga, reog dan barongsai. Lumayan melelahkan, tapi kami telah bersikap dan bertekad akan memperjuangkan penolakan RUU APP, itulah sebagian kecil kesibukanku belakangan ini saudariku.

Pada alam demokrasi, perbedaan pendapat itu adalah bagian rahmatan lil alamin. Kita akan makin kaya dengan pengetahuan dan makin dewasa dalam menyelesaikan perbedaan kan?

Saudariku, masuk pada materi diskusi kita, tolong bedakan antara pornografi berikut permasalahannya dan RUU APP berikut permasalahannya karena itu dua hal yang berbeda. Sering, diskusi-diskusi dan informasi-informasi yang disampaikan bukanlah RUU APP-nya, tapi pornografi dan dampaknya. Di situlah letak awal perbedaan cara pandang kita.

Kalau aku ditanya bagaimana cara mendidik anak-anak? Aku mendidik mereka seperti ibu mendidikku. Ibuku besar di lingkungan Pondok Pesantren Tremas di Pacitan.

Beliau dengan disiplin yang kuat, mengajarkan kepadaku untuk memperoleh ilmu setinggi-tingginya dengan berdasarkan agama Islam. Hanya bedanya, aku memberikan pendidikan seksual sejak dini kepada anak-anakku, yang aku tidak menerima hal ini dari ibuku.

Sering aku enggan dan tidak lengkap menjawab hal-hal yang bersifat pribadi karena aku merasa pertanyaan tersebut tidak perlu aku jawab. Persoalan RUU APP bukanlah persoalan pribadiku, tapi adalah persoalan kita, sebagai warga bangsa.

Saudariku Detti, soal survei aku tidak ingin memberikan komentar karena aku tidak tahu persis apa alasan mereka menyurvei ataupun tidak. Saranku tanyakan langsung kepada yang bersangkutan, sehingga tidak main di wilayah asumsi.

Tetapi, survei bukanlah kebenaran yang mutlak. Dari yang disurvei berapa orang yang sudah membaca RUU APP? Sejauh mana objektivitas dari survei yang dilakukan? Hal ini masih bisa kita tanyakan dan kita kaji kembali objektivitasnya.

Sikapku dan kawan-kawan Aliansi Penyelamat Bangsa sangat jelas, menolak pornografi, menolak RUU APP, dan mengefektifkan UU yang ada dengan penegakan hukum. Ada beberapa alasan yang secara objektif bisa aku kemukakan: Pertama, pornografi diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana, UU Penyiaran, UU Perfilman, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Pokok Pers.

Di UU tersebut sudah ada badan-badan yang dibentuk untuk mengontrol atau menindak pelanggaran yang terjadi terhadap UU, seperti kepolisian, Dewan Pers (sesuai dengan UU Pokok Pers), Badan Sensor Film Nasioanal (sesuai dengan UU Perfilman Nasional), Komisi Penyiaran Indonesia (sesuai dengan UU Penyiaran), dan Komisi Perlindungan Anak (sesuai dengan UU Perlindungan Anak Indoenesia). Sebab itu, tidak diperlukan UU tersendiri yang mengatur pornografi dan pornoaksi, tapi yang diperlukan adalah optimalisasi terhadap penegakan hukum.

Detti sayang, aku berpikir wakil rakyat kita ini sekarang sedang buang-buang uang rakyat, tanpa memiliki prioritas masalah yang harus diselesaikan. Kamu bisa bayangkan dan perhitungkan, berapa juta anak busung lapar yang bisa tertolong kalau biaya yang digunakan Pansus RUU APP itu dibagikan ke mereka. Bangsa kita ini sedang mengalami "kepanikan moral" dalam menghadapi persoalan bangsa. Ketidakmampuan penguasa dalam menjawab persoalan pengangguran, ekonomi yang makin terpuruk, kesejahteraan rakyat yang terus merosot, perusahaan negara yang dikuasai modal asing, menjadikan penguasa kehilangan akal sehatnya dalam melihat akar persoalan bangsa dan solusinya.

Penguasa tidak memiliki kemampuan lagi untuk mengurai persoalan bangsa ini secara objektif dan bijak, apalagi untuk menyelesaikannya. Aksi buruh yang murni hanya ingin memperjuangkan perubahan atas nasibnya saja, dicurigai ditunggangi kekuatan lain yang katanya mau menjatuhkan kekuasaaan. Perempuan yang merasa terancam dengan kriminalisasi terhadap tubuhnya, dianggap sebagai kelompok yang tidak memiliki moral.

RUU APP sebagai lex specialis? Rasanya aku sangat ragu karena UU yang ada saja tidak efektif, kok malah mau ditambah UU lagi. Apalagi, secara substansi, RUU APP sangat sarat dengan wilayah "persepsi", dan tidak memiliki batasan yang jelas, sementara revisi masih sebatas wacana.

Dari kondisi ini, yang sangat aku khawatirkan akan terjadinya konflik horizontal, seperti yang telah terjadi di Jakarta. Saudara-saudara kita dari FPI merazia Kantor Playboy dan padagang-pedagang kaki lima (PKL).

Seperti kita ketahui bersama, PKL hanyalah pedagang kecil yang mencari keuntungan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Fakta rawannya konflik horisontal ini apa masih belum cukup untuk menguatkan argumen dari hal yang aku khawatirkan? Bukankah yang diprotes seharusnya lembaga yang mengeluarkan kebijakan atau badan yang diberi kewenangan menindak?

Selain hal tersebut, aku menilai RUU APP bertentangan dengan UUD 1945 setelah Amandemen IV, dan berbagai peraturan perundangan lain seperti UU Hak Asasi Manusia, UU Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi terhadap Perempuan, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

regulation of pornography

Lampung Post, Senin, 8 Mei 2006

OPINI

Hapuskan Pornografi (Surat Cinta untuk S.N. Laila)

Detti Febrina

Bagaimana kabar perjuangan tolak pengesahan RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) kita, Mbak Laila? Sepertinya tambah semangat saja nih menggalang dukungan supaya RUU APP tidak disahkan.

Dua kali pertemuan kita yang menurut saya sangat singkat--keduanya dalam kerangka prokontra pengesahan RUU APP--hingga tenggat pengesahan bulan Juni 2006 pun tampaknya masing-masing pihak tak akan bergeming. Tapi tentu saja masih tersisa ruang untuk berdiskusi kan?

Baiklah, sebelum masuk arena perdebatan, mari kita telusuri kembali mengapa Anti Pornografi harus dihadirkan dalam bentuk Undang-Undang.

Pertama, RUU yang sudah mengendap selama tujuh tahun ini hadir di tengah keresahan yang juga sudah mengendap (tampaknya selama lebih dari tujuh tahun) dari masyarakat akan aktivitas pornografis yang kian permisif. Launching produk-produk pornografi dianggap makin lancang dan menabrak-nabrak sensitivitas--bukan saja kalangan agamawan--tapi juga para orang tua dan pendidik.

Tak heran, Mbak Laila mungkin kerap mendapat pertanyaan, "Sebagai orang tua, apakah Mbak tega anaknya terjun di industri pornografi?" Jawaban diplomatis khas Mbak Laila tampaknya sering tak memuaskan pihak penanya. Karena mungkin kalau sudah bicara peran orang tua, memang tak selalu dalam kerangka "otoritas", tapi juga "keprihatinan" jangan sampai anaknya terjerumus ke jalan yang salah.

Yang pertama adalah logika argumentatif, sedangkan yang kedua mungkin lebih naluriah. Lebih sederhana dan tak perlu dijelaskan dengan logika njelimet.

Ada pula yang berpendapat penerbitan majalah Playboy menjadi salah satu pencetus. Tapi di luar itu, majalah serta tabloid, tak lupa VCD-VCD porno bajakan yang lebih murah dan lebih mudah didapat, juga menimbulkan kegemasan tersendiri. Tak jarang peredarannya sangat dekat dengan komunitas sekolah.

Wajar jika muncul kekhawatiran anak-anak dan para remaja kita jadi terangsang melakukan hubungan seks sejak usia dini. Sudah sangat banyak kasus pemerkosaan, pencabulan dan perzinahan di tingkat remaja yang dilakukan gara-gara mengkonsumsi produk pornografi.

Kita pun menyepakati dalam tataran ini pornografi adalah musuh bersama. Bukan begitu, Mbak Laila?

Kedua, banyak survei membuktikan bahwa mayoritas (catat: ma-yo-ri-tas) masyarakat ingin RUU APP segera disahkan. Saya ingin mengutip satu di antaranya yaitu survei yang dilakukan Lampung Post bersama Laboratorium Politik dan Otonomi Daerah FISIP Unila (6 Maret 2006). Sebanyak 67,5% dari 200 responden berusia lebih dari 17 tahun menyatakan setuju RUU APP disahkan menjadi Undang-Undang.

Harian Kompas yang kerap menghadirkan angle ketidaksetujuannya terhadap RUU APP pun saya lihat tak berani masuk ke wilayah survei. Padahal, Litbang Kompas dengan hasil-hasil surveinya sering dijadikan rujukan karena akurasinya. Namun, mengapa untuk isu RUU APP, hingga kini Kompas tak jua bernyali melakukan survei?

Apa artinya ini? Artinya, masyarakat menangkap kehadiran RUU APP sebagai sebuah kebutuhan. Maka, aksi-aksi penolakan RUU APP sesungguhnya dilakukan sebagian kecil saja. Terlihat meriah karena memang jaringan selebritis diletakkan di garda depan. Padahal saya tidak terlalu yakin para aktris ini sudah benar-benar mencermati seluruh pasal dalam RUU APP. Jangan-jangan merekapun belum tahu bahwa RUU itu sudah direvisi, hingga ke pasal-pasal yang terkait penjatuhan sanksi sekalipun.

Ketiga, munculnya kasus-kasus yang masuk wilayah perdebatan: apakah ini pornografi atau seni, seperti yang terjadi pada foto bugil Anjasmara, menurut hemat saya justru mempertegas urgensi regulasi pornografi.

Saya tak perlu lagi menyinggung kemben jawa dan kotekanya orang papua. Pasti Mbak Laila juga sudah tahu bahwa RUU APP sudah direvisi begitu rupa. Balkan Kaplale, Ketua Pansus RUU APP terakhir menegaskan bahwa Perda untuk beberapa daerah seperti Batam, Bali, dan Papua akan dimasukkan dalam Bab Pertimbangan.

UU APP sebagai 'Lex Specialis'

Lalu kegusaran Mbak Laila bahwa DPR tak perlu berlelah-lelah membuat undang-undang baru dan wacana mengefektifkan perundangan yang sudah ada, menjadi tertolak mengingat sejumlah Undang-Undang juga dihadirkan sebagai lex specialis (hukum khusus) dari KUHP.

Seluruh perundangan itu, sebut saja KUHP, UU Pers, UU Penyiaran, juga UU Perlindungan Anak tidak ada yang spesifik mengatur pornografi. Sebut saja kriteria kesusilaan dalam KUHP. Tidak ada batasan jelas dalam KUHP tentang apa yang dimaksud kesusilaan.

Ah, kalau soal klausul bahkan pasal per pasal seluruh perundangan itu, sepertinya saya yang mesti berguru ke Mbak Laila. Yang saya tahu, Inggris saja punya Obscene Publication Act 1964, dan Amerika Serikat punya Child Obscenity and Pornography Prevention Act 2002.

Kedua negara serba boleh itu saja punya perundangan yang mengatur dan membatasi substansi atau gagasan dalam media yang mengarah pada pornografi. Bukankah kita masih tinggal di Indonesia, Mbak? Indonesia, dengan segala derivat sosial dan agamanya.

Yang menjadi keprihatinan saya adalah mengapa ketidaksetujuan terhadap seiris kecil dari RUU APP lantas menjadikan bulatan besarnya dibuang mentah-mentah. Tidakkah cukup revisi RUU APP dari hasil mengakomodasi para kubu penentang kini bak macan ompong tanpa pasal-pasal sanksi?

Pada akhirnya, menurut saya, pengesahan sebuah undang-undang tak cukup hanya diperdebatkan dalam bingkai logika belaka. Ada bagian dalam diri tiap manusia bernama kata hati, atau nurani, yang bisa jadi berteriak lemah "sahkan" walaupun sang logika membentak "jangan disahkan!" plus segenap argumen yang membuatnya jadi benar. Kebenaran yang logis, begitulah.

Kali ini ijinkan saya mengutip kata-kata Mbak Laila saat melakukan hearing dengan Komisi E DPRD Lampung beberapa hari yang lalu bahwa "Sesungguhnya ada kesepakatan bersama dalam nilai-nilai untuk sama-sama menolak pornografi."

Jadi sekali lagi, kita tetap sepakat untuk menghapuskan pornografi, bukan? Hanya saja kalau Mbak Laila dan kawan-kawan menempuh jalan menelikung, maka Pansus RUU APP menempuh jalan legislature mereka (baca: dengan cara membuat undang-undang). Mungkin karena nurani dan logika mereka tidak bertentangan, Mbak Laila. Oke, sampai jumpa di lain kesempatan.

Inggris punya Obscene Publication Act 1964 dan Amerika Serikat punya Child Obscenity and Pornography Prevention Act 2002. Kedua negara serba boleh itu punya perundangan yang mengatur dan membatasi substansi atau gagasan dalam media yang mengarah pada pornografi.

my recently (collected) writings

Jum'at, 10 Februari 2006

OPINI

Menakar Kemerdekaan Pers
* Detti Febrina, praktisi pers, tinggal di Bandar Lampung

Dua kasus, rencana terbitnya Majalah Playboy Indonesia dan kartun Nabi Muhammad saw., agaknya representatif menandai kontemplasi kalangan pers tentang makna kemerdekaan (kebebasan) pers saat memperingati Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari.

Dalam beberapa kasus memang, kemerdekaan pers dan isu suku agama ras dan antargolongan (SARA) tidak jarang menjadi dua sisi yang berseberangan. Karena terkait dengan banyak orang--Bambang Eka Wijaya sering menyebut dengan everybody's business, bisnis pers bagaimanapun tidak bisa abai dari benturan-benturan kepentingan yang melibatkan orang apatah lagi dalam hitungan massa.

Satu kesamaan antara kasus Majalah Playboy versi Indonesia dan kasus penayangan dua belas rangkai karikatur Nabi Muhammad saw. versi Jyllands-Posten adalah keduanya sama-sama menyinggung wilayah norma dan agama yang--terutama untuk Indonesia--pada akhirnya juga berbuah reaksi massa.

Sentimen agama itu juga bahkan telah menabrak batas-batas ekonomi dan teritori. Lihatlah bagaimana isu boikot produk Denmark ditambah pernyataan mengecam dari kepala negara justru bergulir mengangkat Jyllands-Posten dan Majalah Playboy kian populer di mata publik yang bahkan sama sekali tidak mengetahui kedua media itu eksis.

Pers yang kian mengukuhkan perannya sebagai pilar keempat (the fourth estate) setelah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif kini justru menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan peran. Sebab, kebebasan pers, sebagai salah satu prasyarat demokrasi, layaknya tidak dipandang sebagai kebebasan an sich yang kemudian menginjak-injak keyakinan ataupun prinsip humanisme universal.

Mari kita simak penistaan agama dengan dimuatnya karikatur Nabi Muhammad saw. di koran terlaris Denmark itu. PM Anders Fogh Rasmussen yang punya otoritas terkuat dan tertinggi untuk menghentikan pemuatan terbitan Jyllands-Posten 30 September 2005 itu justru berlindung di balik pemberlakuan "kemerdekaan pers" di negerinya.

Sekalipun setiap negara bebas mengatur diri sendiri, dan sekalipun Denmark notabene termasuk negara yang melegalisasi pornografi, akal sehat siapa yang dapat membenarkan penayangan karikatur nan sarat tendensi dan sarkasme itu?

Tidak kurang dari Vatikan bahkan tercatat turut rembug menyesalkan tindakan gegabah redaksi Jyllands-Posten. Pendeta-pendeta Kristen ortodoks di Israel merasa perlu bersuara menyumbangkan kecamannya.

Maka saat ada api berkobar membakar gedung Kedutaan Besar Denmark, Prancis, dan Norwegia, di sini kita bukan lagi bicara soal fanatisme salah satu agama semata. Ada universalitas kemanusiaan lintas agama dan keyakinan yang ikut tercabik.

Sedangkan janji Majalah Playboy Indonesia tidak akan sevulgar terbitan negara asalnya kemudian membawa pertanyaan lanjut: Lalu apa yang menjadi tolok ukur vulgar dan tidak vulgarnya? Siapa yang bisa memastikan foto-foto yang dimuat Playboy versi Indonesia tidak akan terdefinisi sebagai pornografi? Siapa bisa memberi garansi bahwa Playboy Indonesia hanya akan beredar di kalangan supereksklusif dengan pengawasan ekstraketat?

Jika hanya berdalih menggunakan prinsip supply and demand, sampai kapan pun pencabulan yang diliterasikan akan selalu mendapat tempat di negeri mayoritas muslim ini. Pernyataan ‘kalau tidak mau, ya jangan beli, sungguh tidak bisa dicerna sebagai kepahaman bahwa bukankah naluri purba manusia selalu butuh diperturutkan? Rasa ingin tahu terhadap seks dan tubuh manusia; bukankah itu abadi hingga kelak punahnya ras manusia di muka bumi?

Begitu pula konsekuensi munculnya masalah psikologis bahkan tindak pidana pascamengonsumsi media-media ala Majalah Playboy yang jadi santapan rutin di tayangan-tayangan kriminal di televisi.

Pascabatalnya aturan tentang SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers), babak baru pers Indonesia diawali dengan euforia kemunculan segala jenis media, termasuk media yang tanpa menunggu kepastian UU Pornografi pun jelas-jelas menampilkan pencabulan.

Masyarakat pers sendiri cenderung menganggap media-media semacam ini tidak bisa dikategorikan sebagai terbitan pers. Dewan Pers hanya bisa memberikan pertimbangan tanpa punya wewenang untuk menindak penerbitan yang dianggap porno. Dengan demikian, media porno bagai dibiarkan berenang bebas dalam ekosistem yang sama dengan media-media yang menahbiskan diri sebagai pers yang sesungguhnya.

Dengan demikian, seraya menunggu kepastian tuntasnya pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi, setidaknya sudah ada perangkat hukum yang bisa digunakan dalam melimitasi kebebasan pers macam apa yang ingin diberlakukan di negeri ini.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan juga kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) mempunyai aturan tegas soal media cabul maupun hasil olahan redaksi yang sensitif menyinggung SARA. Dan, selanjutnya silakan aparat penegak hukum yang mengambil alih.

Namun, yang justru menjadi keprihatinan penulis adalah sikap tutup mata yang cenderung ditampilkan masyarakat pers sendiri. Hanya berpegang pada niat baik menegakkan Kode Etik Wartawan, jelas tidak cukup kuat menegakkan benang basah "kemerdekaan pers" yang kini jadi terasa nisbi.

Masyarakat pers tidak bisa berhenti hanya pada kontemplasi. Kemerdekaan pers butuh formula mujarab yang harus diramu dengan hati-hati. Sebagaimana yang dilakukan rekan-rekan jurnalis di Bandung jelang Hari Pers, mungkin kita perlu minta maaf pada semua khalayak yang tidak berhasil kita cerdaskan lewat tulisan dan gambar-gambar kita.

Pemunculan media-media cabul--dengan mempertaruhkan kebebasan pers yang diperjuangkan bertahun-tahun--juga harus menjadi tanggung jawab insan pers keseluruhannya. Juga termasuk cara kita menggelindingkan isu karikatur Nabi saw. dan Majalah Playboy.

Selamat mem-follow-up-i kontemplasi.