Selasa, 18 Desember 2007

laila's answer

hai hai. ini adalah jawaban siti nurlaila atas opiniku sebelumnya

Lampung Post, Kamis, 18 Mei 2006

OPINI


Pornografi, 'No'! RUU APP, 'No'!
(Jawaban Opini Detti Febrina)

S.N. Laila
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan damar

Terima kasih telah berkirim surat kepadaku dengan penuh cinta dan persaudaraan terhadap sesama perempuan. Bagaimana kabar keluarga? Semoga sehat semua dan selalu dalam lindungan Allah swt. Amin.

Ya, alhamdulillah, aku dan kawan-kawan masih memiliki energi yang cukup untuk kampanye penolakan terhadap RUU APP, di tengah-tengah juga harus memberikan dukungan kepada kawan-kawan buruh pada 1 Mei, dan kepada kawan-kawan mahasiswa pada 2 Mei. Bahkan, organisasi yang memberikan dukungan dan tergabung Aliansi Penyelamat Bangsa juga bertambah.

Pada 5 Mei, di B'Coffee, kami berdiskusi dengan akademisi, berbagai perwakilan agama, pers, NGO, dan politisi. Diskusi itu untuk mencoba mengkaji RUU APP secara objektif dan rasional. PKS juga diundang lo.

Diskusi tersebut dihadiri baik oleh yang pro maupun yang kontra. Hasil diskusi ini akan kami kirimkan kepada Pansus RUU APP di DPR.

Kemudian, Sabtu, 6 Mei 2006, Aliansi Penyelamat Bangsa mengampanyekan penolakan RUU APP dengan mengadakan karnaval budaya, keliling Kota Bandar Lampung. Dalam kegiatan itu, kami menggunakan berbagai baju adat dan menggelar tontonan rakyat yang berasal dari kebudayaan bangsa Indonesia juga, reog dan barongsai. Lumayan melelahkan, tapi kami telah bersikap dan bertekad akan memperjuangkan penolakan RUU APP, itulah sebagian kecil kesibukanku belakangan ini saudariku.

Pada alam demokrasi, perbedaan pendapat itu adalah bagian rahmatan lil alamin. Kita akan makin kaya dengan pengetahuan dan makin dewasa dalam menyelesaikan perbedaan kan?

Saudariku, masuk pada materi diskusi kita, tolong bedakan antara pornografi berikut permasalahannya dan RUU APP berikut permasalahannya karena itu dua hal yang berbeda. Sering, diskusi-diskusi dan informasi-informasi yang disampaikan bukanlah RUU APP-nya, tapi pornografi dan dampaknya. Di situlah letak awal perbedaan cara pandang kita.

Kalau aku ditanya bagaimana cara mendidik anak-anak? Aku mendidik mereka seperti ibu mendidikku. Ibuku besar di lingkungan Pondok Pesantren Tremas di Pacitan.

Beliau dengan disiplin yang kuat, mengajarkan kepadaku untuk memperoleh ilmu setinggi-tingginya dengan berdasarkan agama Islam. Hanya bedanya, aku memberikan pendidikan seksual sejak dini kepada anak-anakku, yang aku tidak menerima hal ini dari ibuku.

Sering aku enggan dan tidak lengkap menjawab hal-hal yang bersifat pribadi karena aku merasa pertanyaan tersebut tidak perlu aku jawab. Persoalan RUU APP bukanlah persoalan pribadiku, tapi adalah persoalan kita, sebagai warga bangsa.

Saudariku Detti, soal survei aku tidak ingin memberikan komentar karena aku tidak tahu persis apa alasan mereka menyurvei ataupun tidak. Saranku tanyakan langsung kepada yang bersangkutan, sehingga tidak main di wilayah asumsi.

Tetapi, survei bukanlah kebenaran yang mutlak. Dari yang disurvei berapa orang yang sudah membaca RUU APP? Sejauh mana objektivitas dari survei yang dilakukan? Hal ini masih bisa kita tanyakan dan kita kaji kembali objektivitasnya.

Sikapku dan kawan-kawan Aliansi Penyelamat Bangsa sangat jelas, menolak pornografi, menolak RUU APP, dan mengefektifkan UU yang ada dengan penegakan hukum. Ada beberapa alasan yang secara objektif bisa aku kemukakan: Pertama, pornografi diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana, UU Penyiaran, UU Perfilman, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Pokok Pers.

Di UU tersebut sudah ada badan-badan yang dibentuk untuk mengontrol atau menindak pelanggaran yang terjadi terhadap UU, seperti kepolisian, Dewan Pers (sesuai dengan UU Pokok Pers), Badan Sensor Film Nasioanal (sesuai dengan UU Perfilman Nasional), Komisi Penyiaran Indonesia (sesuai dengan UU Penyiaran), dan Komisi Perlindungan Anak (sesuai dengan UU Perlindungan Anak Indoenesia). Sebab itu, tidak diperlukan UU tersendiri yang mengatur pornografi dan pornoaksi, tapi yang diperlukan adalah optimalisasi terhadap penegakan hukum.

Detti sayang, aku berpikir wakil rakyat kita ini sekarang sedang buang-buang uang rakyat, tanpa memiliki prioritas masalah yang harus diselesaikan. Kamu bisa bayangkan dan perhitungkan, berapa juta anak busung lapar yang bisa tertolong kalau biaya yang digunakan Pansus RUU APP itu dibagikan ke mereka. Bangsa kita ini sedang mengalami "kepanikan moral" dalam menghadapi persoalan bangsa. Ketidakmampuan penguasa dalam menjawab persoalan pengangguran, ekonomi yang makin terpuruk, kesejahteraan rakyat yang terus merosot, perusahaan negara yang dikuasai modal asing, menjadikan penguasa kehilangan akal sehatnya dalam melihat akar persoalan bangsa dan solusinya.

Penguasa tidak memiliki kemampuan lagi untuk mengurai persoalan bangsa ini secara objektif dan bijak, apalagi untuk menyelesaikannya. Aksi buruh yang murni hanya ingin memperjuangkan perubahan atas nasibnya saja, dicurigai ditunggangi kekuatan lain yang katanya mau menjatuhkan kekuasaaan. Perempuan yang merasa terancam dengan kriminalisasi terhadap tubuhnya, dianggap sebagai kelompok yang tidak memiliki moral.

RUU APP sebagai lex specialis? Rasanya aku sangat ragu karena UU yang ada saja tidak efektif, kok malah mau ditambah UU lagi. Apalagi, secara substansi, RUU APP sangat sarat dengan wilayah "persepsi", dan tidak memiliki batasan yang jelas, sementara revisi masih sebatas wacana.

Dari kondisi ini, yang sangat aku khawatirkan akan terjadinya konflik horizontal, seperti yang telah terjadi di Jakarta. Saudara-saudara kita dari FPI merazia Kantor Playboy dan padagang-pedagang kaki lima (PKL).

Seperti kita ketahui bersama, PKL hanyalah pedagang kecil yang mencari keuntungan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Fakta rawannya konflik horisontal ini apa masih belum cukup untuk menguatkan argumen dari hal yang aku khawatirkan? Bukankah yang diprotes seharusnya lembaga yang mengeluarkan kebijakan atau badan yang diberi kewenangan menindak?

Selain hal tersebut, aku menilai RUU APP bertentangan dengan UUD 1945 setelah Amandemen IV, dan berbagai peraturan perundangan lain seperti UU Hak Asasi Manusia, UU Pengesahan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi terhadap Perempuan, Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

Tidak ada komentar: