Selasa, 18 Desember 2007

regulation of pornography

Lampung Post, Senin, 8 Mei 2006

OPINI

Hapuskan Pornografi (Surat Cinta untuk S.N. Laila)

Detti Febrina

Bagaimana kabar perjuangan tolak pengesahan RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) kita, Mbak Laila? Sepertinya tambah semangat saja nih menggalang dukungan supaya RUU APP tidak disahkan.

Dua kali pertemuan kita yang menurut saya sangat singkat--keduanya dalam kerangka prokontra pengesahan RUU APP--hingga tenggat pengesahan bulan Juni 2006 pun tampaknya masing-masing pihak tak akan bergeming. Tapi tentu saja masih tersisa ruang untuk berdiskusi kan?

Baiklah, sebelum masuk arena perdebatan, mari kita telusuri kembali mengapa Anti Pornografi harus dihadirkan dalam bentuk Undang-Undang.

Pertama, RUU yang sudah mengendap selama tujuh tahun ini hadir di tengah keresahan yang juga sudah mengendap (tampaknya selama lebih dari tujuh tahun) dari masyarakat akan aktivitas pornografis yang kian permisif. Launching produk-produk pornografi dianggap makin lancang dan menabrak-nabrak sensitivitas--bukan saja kalangan agamawan--tapi juga para orang tua dan pendidik.

Tak heran, Mbak Laila mungkin kerap mendapat pertanyaan, "Sebagai orang tua, apakah Mbak tega anaknya terjun di industri pornografi?" Jawaban diplomatis khas Mbak Laila tampaknya sering tak memuaskan pihak penanya. Karena mungkin kalau sudah bicara peran orang tua, memang tak selalu dalam kerangka "otoritas", tapi juga "keprihatinan" jangan sampai anaknya terjerumus ke jalan yang salah.

Yang pertama adalah logika argumentatif, sedangkan yang kedua mungkin lebih naluriah. Lebih sederhana dan tak perlu dijelaskan dengan logika njelimet.

Ada pula yang berpendapat penerbitan majalah Playboy menjadi salah satu pencetus. Tapi di luar itu, majalah serta tabloid, tak lupa VCD-VCD porno bajakan yang lebih murah dan lebih mudah didapat, juga menimbulkan kegemasan tersendiri. Tak jarang peredarannya sangat dekat dengan komunitas sekolah.

Wajar jika muncul kekhawatiran anak-anak dan para remaja kita jadi terangsang melakukan hubungan seks sejak usia dini. Sudah sangat banyak kasus pemerkosaan, pencabulan dan perzinahan di tingkat remaja yang dilakukan gara-gara mengkonsumsi produk pornografi.

Kita pun menyepakati dalam tataran ini pornografi adalah musuh bersama. Bukan begitu, Mbak Laila?

Kedua, banyak survei membuktikan bahwa mayoritas (catat: ma-yo-ri-tas) masyarakat ingin RUU APP segera disahkan. Saya ingin mengutip satu di antaranya yaitu survei yang dilakukan Lampung Post bersama Laboratorium Politik dan Otonomi Daerah FISIP Unila (6 Maret 2006). Sebanyak 67,5% dari 200 responden berusia lebih dari 17 tahun menyatakan setuju RUU APP disahkan menjadi Undang-Undang.

Harian Kompas yang kerap menghadirkan angle ketidaksetujuannya terhadap RUU APP pun saya lihat tak berani masuk ke wilayah survei. Padahal, Litbang Kompas dengan hasil-hasil surveinya sering dijadikan rujukan karena akurasinya. Namun, mengapa untuk isu RUU APP, hingga kini Kompas tak jua bernyali melakukan survei?

Apa artinya ini? Artinya, masyarakat menangkap kehadiran RUU APP sebagai sebuah kebutuhan. Maka, aksi-aksi penolakan RUU APP sesungguhnya dilakukan sebagian kecil saja. Terlihat meriah karena memang jaringan selebritis diletakkan di garda depan. Padahal saya tidak terlalu yakin para aktris ini sudah benar-benar mencermati seluruh pasal dalam RUU APP. Jangan-jangan merekapun belum tahu bahwa RUU itu sudah direvisi, hingga ke pasal-pasal yang terkait penjatuhan sanksi sekalipun.

Ketiga, munculnya kasus-kasus yang masuk wilayah perdebatan: apakah ini pornografi atau seni, seperti yang terjadi pada foto bugil Anjasmara, menurut hemat saya justru mempertegas urgensi regulasi pornografi.

Saya tak perlu lagi menyinggung kemben jawa dan kotekanya orang papua. Pasti Mbak Laila juga sudah tahu bahwa RUU APP sudah direvisi begitu rupa. Balkan Kaplale, Ketua Pansus RUU APP terakhir menegaskan bahwa Perda untuk beberapa daerah seperti Batam, Bali, dan Papua akan dimasukkan dalam Bab Pertimbangan.

UU APP sebagai 'Lex Specialis'

Lalu kegusaran Mbak Laila bahwa DPR tak perlu berlelah-lelah membuat undang-undang baru dan wacana mengefektifkan perundangan yang sudah ada, menjadi tertolak mengingat sejumlah Undang-Undang juga dihadirkan sebagai lex specialis (hukum khusus) dari KUHP.

Seluruh perundangan itu, sebut saja KUHP, UU Pers, UU Penyiaran, juga UU Perlindungan Anak tidak ada yang spesifik mengatur pornografi. Sebut saja kriteria kesusilaan dalam KUHP. Tidak ada batasan jelas dalam KUHP tentang apa yang dimaksud kesusilaan.

Ah, kalau soal klausul bahkan pasal per pasal seluruh perundangan itu, sepertinya saya yang mesti berguru ke Mbak Laila. Yang saya tahu, Inggris saja punya Obscene Publication Act 1964, dan Amerika Serikat punya Child Obscenity and Pornography Prevention Act 2002.

Kedua negara serba boleh itu saja punya perundangan yang mengatur dan membatasi substansi atau gagasan dalam media yang mengarah pada pornografi. Bukankah kita masih tinggal di Indonesia, Mbak? Indonesia, dengan segala derivat sosial dan agamanya.

Yang menjadi keprihatinan saya adalah mengapa ketidaksetujuan terhadap seiris kecil dari RUU APP lantas menjadikan bulatan besarnya dibuang mentah-mentah. Tidakkah cukup revisi RUU APP dari hasil mengakomodasi para kubu penentang kini bak macan ompong tanpa pasal-pasal sanksi?

Pada akhirnya, menurut saya, pengesahan sebuah undang-undang tak cukup hanya diperdebatkan dalam bingkai logika belaka. Ada bagian dalam diri tiap manusia bernama kata hati, atau nurani, yang bisa jadi berteriak lemah "sahkan" walaupun sang logika membentak "jangan disahkan!" plus segenap argumen yang membuatnya jadi benar. Kebenaran yang logis, begitulah.

Kali ini ijinkan saya mengutip kata-kata Mbak Laila saat melakukan hearing dengan Komisi E DPRD Lampung beberapa hari yang lalu bahwa "Sesungguhnya ada kesepakatan bersama dalam nilai-nilai untuk sama-sama menolak pornografi."

Jadi sekali lagi, kita tetap sepakat untuk menghapuskan pornografi, bukan? Hanya saja kalau Mbak Laila dan kawan-kawan menempuh jalan menelikung, maka Pansus RUU APP menempuh jalan legislature mereka (baca: dengan cara membuat undang-undang). Mungkin karena nurani dan logika mereka tidak bertentangan, Mbak Laila. Oke, sampai jumpa di lain kesempatan.

Inggris punya Obscene Publication Act 1964 dan Amerika Serikat punya Child Obscenity and Pornography Prevention Act 2002. Kedua negara serba boleh itu punya perundangan yang mengatur dan membatasi substansi atau gagasan dalam media yang mengarah pada pornografi.

Tidak ada komentar: