Selasa, 18 Desember 2007

my recently (collected) writings

Jum'at, 10 Februari 2006

OPINI

Menakar Kemerdekaan Pers
* Detti Febrina, praktisi pers, tinggal di Bandar Lampung

Dua kasus, rencana terbitnya Majalah Playboy Indonesia dan kartun Nabi Muhammad saw., agaknya representatif menandai kontemplasi kalangan pers tentang makna kemerdekaan (kebebasan) pers saat memperingati Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari.

Dalam beberapa kasus memang, kemerdekaan pers dan isu suku agama ras dan antargolongan (SARA) tidak jarang menjadi dua sisi yang berseberangan. Karena terkait dengan banyak orang--Bambang Eka Wijaya sering menyebut dengan everybody's business, bisnis pers bagaimanapun tidak bisa abai dari benturan-benturan kepentingan yang melibatkan orang apatah lagi dalam hitungan massa.

Satu kesamaan antara kasus Majalah Playboy versi Indonesia dan kasus penayangan dua belas rangkai karikatur Nabi Muhammad saw. versi Jyllands-Posten adalah keduanya sama-sama menyinggung wilayah norma dan agama yang--terutama untuk Indonesia--pada akhirnya juga berbuah reaksi massa.

Sentimen agama itu juga bahkan telah menabrak batas-batas ekonomi dan teritori. Lihatlah bagaimana isu boikot produk Denmark ditambah pernyataan mengecam dari kepala negara justru bergulir mengangkat Jyllands-Posten dan Majalah Playboy kian populer di mata publik yang bahkan sama sekali tidak mengetahui kedua media itu eksis.

Pers yang kian mengukuhkan perannya sebagai pilar keempat (the fourth estate) setelah kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif kini justru menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan peran. Sebab, kebebasan pers, sebagai salah satu prasyarat demokrasi, layaknya tidak dipandang sebagai kebebasan an sich yang kemudian menginjak-injak keyakinan ataupun prinsip humanisme universal.

Mari kita simak penistaan agama dengan dimuatnya karikatur Nabi Muhammad saw. di koran terlaris Denmark itu. PM Anders Fogh Rasmussen yang punya otoritas terkuat dan tertinggi untuk menghentikan pemuatan terbitan Jyllands-Posten 30 September 2005 itu justru berlindung di balik pemberlakuan "kemerdekaan pers" di negerinya.

Sekalipun setiap negara bebas mengatur diri sendiri, dan sekalipun Denmark notabene termasuk negara yang melegalisasi pornografi, akal sehat siapa yang dapat membenarkan penayangan karikatur nan sarat tendensi dan sarkasme itu?

Tidak kurang dari Vatikan bahkan tercatat turut rembug menyesalkan tindakan gegabah redaksi Jyllands-Posten. Pendeta-pendeta Kristen ortodoks di Israel merasa perlu bersuara menyumbangkan kecamannya.

Maka saat ada api berkobar membakar gedung Kedutaan Besar Denmark, Prancis, dan Norwegia, di sini kita bukan lagi bicara soal fanatisme salah satu agama semata. Ada universalitas kemanusiaan lintas agama dan keyakinan yang ikut tercabik.

Sedangkan janji Majalah Playboy Indonesia tidak akan sevulgar terbitan negara asalnya kemudian membawa pertanyaan lanjut: Lalu apa yang menjadi tolok ukur vulgar dan tidak vulgarnya? Siapa yang bisa memastikan foto-foto yang dimuat Playboy versi Indonesia tidak akan terdefinisi sebagai pornografi? Siapa bisa memberi garansi bahwa Playboy Indonesia hanya akan beredar di kalangan supereksklusif dengan pengawasan ekstraketat?

Jika hanya berdalih menggunakan prinsip supply and demand, sampai kapan pun pencabulan yang diliterasikan akan selalu mendapat tempat di negeri mayoritas muslim ini. Pernyataan ‘kalau tidak mau, ya jangan beli, sungguh tidak bisa dicerna sebagai kepahaman bahwa bukankah naluri purba manusia selalu butuh diperturutkan? Rasa ingin tahu terhadap seks dan tubuh manusia; bukankah itu abadi hingga kelak punahnya ras manusia di muka bumi?

Begitu pula konsekuensi munculnya masalah psikologis bahkan tindak pidana pascamengonsumsi media-media ala Majalah Playboy yang jadi santapan rutin di tayangan-tayangan kriminal di televisi.

Pascabatalnya aturan tentang SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers), babak baru pers Indonesia diawali dengan euforia kemunculan segala jenis media, termasuk media yang tanpa menunggu kepastian UU Pornografi pun jelas-jelas menampilkan pencabulan.

Masyarakat pers sendiri cenderung menganggap media-media semacam ini tidak bisa dikategorikan sebagai terbitan pers. Dewan Pers hanya bisa memberikan pertimbangan tanpa punya wewenang untuk menindak penerbitan yang dianggap porno. Dengan demikian, media porno bagai dibiarkan berenang bebas dalam ekosistem yang sama dengan media-media yang menahbiskan diri sebagai pers yang sesungguhnya.

Dengan demikian, seraya menunggu kepastian tuntasnya pembahasan RUU Pornografi dan Pornoaksi, setidaknya sudah ada perangkat hukum yang bisa digunakan dalam melimitasi kebebasan pers macam apa yang ingin diberlakukan di negeri ini.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan juga kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) mempunyai aturan tegas soal media cabul maupun hasil olahan redaksi yang sensitif menyinggung SARA. Dan, selanjutnya silakan aparat penegak hukum yang mengambil alih.

Namun, yang justru menjadi keprihatinan penulis adalah sikap tutup mata yang cenderung ditampilkan masyarakat pers sendiri. Hanya berpegang pada niat baik menegakkan Kode Etik Wartawan, jelas tidak cukup kuat menegakkan benang basah "kemerdekaan pers" yang kini jadi terasa nisbi.

Masyarakat pers tidak bisa berhenti hanya pada kontemplasi. Kemerdekaan pers butuh formula mujarab yang harus diramu dengan hati-hati. Sebagaimana yang dilakukan rekan-rekan jurnalis di Bandung jelang Hari Pers, mungkin kita perlu minta maaf pada semua khalayak yang tidak berhasil kita cerdaskan lewat tulisan dan gambar-gambar kita.

Pemunculan media-media cabul--dengan mempertaruhkan kebebasan pers yang diperjuangkan bertahun-tahun--juga harus menjadi tanggung jawab insan pers keseluruhannya. Juga termasuk cara kita menggelindingkan isu karikatur Nabi saw. dan Majalah Playboy.

Selamat mem-follow-up-i kontemplasi.

Tidak ada komentar: