Selasa, 18 Desember 2007

kari

Lampung Post, Rabu, 25 Juli 2007

PENDIDIKAN

Laras Bahasa:Kari Musabakah

Detti Febrina

BISA jadi memang kita sudah terlalu lama dibudayakan menjadi bangsa yang tidak taat bahasa, sehingga ketika yang digunakan bahasa baku " yang baik dan benar" akhirnya justru terasa kaku dan tidak enak dibaca. Namum, bisa jadi hal itu karena bahasa baku yang dipilih juga sebenarnya masih mengundang celah untuk diperdebatkan.

Mari kita simak salah satu judul berita di Lampung Post, Senin, 16 April 2007 sebagai berikut: "MTQ Provinsi: Bangunan Fisik Pendukung Musabakah Hampir Rampung".

Terus terang kata 'musabakah' itu sempat begitu mengusik, apalagi sebelumnya beberapa kali Lampung Post menggunakan istilah kari dan kariah bagi para pembaca Alquran. Musabaqah tilawatil quran, disingkat MTQ, merupakan lomba membaca Alquran dengan benar dan indah, baik tajwid maupun lagunya. Sedangkan qari merupakan pembaca Alquran (laki-laki) atau orang (laki-laki) yang mahir dalam seni baca Alquran. Pembaca Alquran perempuan disebut qariah. Semua definisi tersebut bisa dibaca di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Pertanyaannya, mengapa pilihan kata dalam berita-berita tersebut musabakah, kari, dan kariah? Bila alasannya didasarkan atas baku dan tidak bakunya, mengapa harus menggunakan huruf 'k'? Sedangkan pada saat yang sama 'musabaqah', 'qari', dan 'qariah' juga tercantum sebagai kata baku dalam KBBI?

Dalam KBBI edisi ketiga (Balai Pustaka, 2005), kata musabakah, kari dan kariah bukan merupakan lema (kata yang dientri dalam kamus) yang dipilih untuk mempunyai definisi. Bila Anda mencari ketiga kata ' dengan huruf k tersebut ,' maka KBBI menyertakan tanda rujukan silang (à) agar Anda melihat definisi musabakah, kari dan kariah, pada musabaqah, qari, dan qariah.

Menurut Hasan Alwi, mantan Kepala Pusat Bahasa sekaligus pemimpin redaksi KBBI, dalam pengantarnya tertanggal 3 Oktober 2000, lema yang tidak diberi definisi (diberi rujukan silang à) merupakan lema yang tidak dianjurkan penggunaannya. Itu alasan pertama yang mungkin masih bisa dibantah. "Di KBBI edisi lain, 'musabakah' diberi definisi".

Jika demikian, mari kita diskusikan alasan kedua. Bahasa Indonesia EYD memang tidak harus ditabrakkan dengan tertib makhrojul huruf (tempat keluarnya huruf atau pelafalan) dalam Bahasa Arab. Namun, transliterasi Arab ke Latin yang merupakan Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri P dan K Nomor 58/1987 telah membakukan pelambangan huruf hijaiyyah ke-21, yakni huruf qaf dengan huruf latin q. Sedangkan huruf k merupakan transliterasi dari huruf berikutnya, yakni kaf.

Jika saja musabakah, kari, dan kariah (dengan huruf kaf) merupakan kata-kata Arab tanpa makna, mungkin perdebatan bisa disudahi. Namun, justru di situlah letak kecanggungannya. Ejaan kaf dan qaf bisa menimbulkan makna berbeda, bahkan, bisa sangat bertolak belakang.

Contoh, bila kita bermaksud merujuk pada 'hati nurani', maka ejaan Arab yang tepat adalah 'qalbu'. Sedangkan lafal 'kalbu', sekali lagi bila konteks pelafalannya, adalah ejaan Arab bermakna anjing. Makna keduanya sangat bertolakbelakang, bukan?

Memang, sejumlah kata serapan bahasa Arab menggunakan huruf qaf kemudian diindonesiakan menjadi k seperti kata 'kamus' yang berasal dari Bahasa Arab 'qamus'. Atau pengindonesiaan beberapa kata lain seperti 'ijab kabul', 'kaidah', 'kalam', alih-alih menggunakan 'ijab qabul', 'qaidah', 'qalam', dan seterusnya.

Sejumlah kata di atas telah berakulturasi dengan manis dengan lidah Indonesia kita yang memang sering malas melafalkan huruf-huruf tertentu (seperti fa dengan ‘pa’, za dengan ‘ja’, juga qa dengan ka). Tetapi, musabaqah, dalam konteks MTQ, adalah kata yang tidak berdiri sendiri. Ia diembel-embeli tilawatil quran.

Jadi, mari kita ambil jalan tengahnya saja: biarkan saja dia apa adanya. Qari dan qariah musabaqah tilawatil quran.

*) jurnalis, tinggal di Bandar Lampung

Tidak ada komentar: